Jadwal kepulangan sudah pasti. Tinggal menghitung hari, kakiku akan melangkah pergi dari lokasi penugasanku selama setahun ini. Walaupun tugas yang kulakukan masih banyak kekurangan di sana-sini, paling tidak aku sudah berusaha menyelesaikannya dengan baik.
Banyak murid meneteskan air mata menjelang kepergianku dari sekolah mereka. Aku terharu juga sih.
Ada rasa berat, tapi ada juga rasa senang karena aku telah mencapai keinginanku untuk melihat wajah pendidikan di Indonesia Timur. Alhamdulilah, Allah memberiku kesempatan mewujudkan khayalanku. Dulu kan, aku pengen banget ikutan IM. Namun, program ini lebih cocok buat aku..karena mentalku nggak sekuat mental-mental pengajar muda-nya IM. Hahaha....

Oya, guru kontrak pusat penggantiku dan usnu ada 2 orang yang penempatannya di sekolah ini. Cewek semua, namanya Ika dan Novi, angkatan kuliah 2007 juga. Mereka guru geografi dan kimia. Hmm...semangat ya kawan! Kalian mampu lebih baik dari aku dan usnu.
Aku bisa tersenyum saat mengingat hal-hal nggak enak yang aku alami. Misalnya tempat tinggalku yang berpindah-pindah. Sempat di mess guru selama seminggu, kemudian pindah karena nggak kebagian kamar. Pertama aku pindah di rumah penduduk di dekat sekolah. Ngasih bayaran, tentunya. Selama 5 bulan di situ, karena banyak hal aku harus pindah. Nah, di kos kedua aku sekamar bareng Mbak Feri (ngajarnya di kecamatan yang sama, tapi beda SMA). Mas Bangkit (satu sekolah dengan Mbak Feri) juga tinggal di rumah ini. Pada intinya sih sama : masalah itu akan kamu temukan di manapun kamu berada. Nah, sekarang tinggal problem solvingnya aja gimana. Hehehe...
Ada juga saat-saat aku sakit: sakit hati dan sakit fisik . Hahaha, gayaaaa!!!
Sakit malaria-thypus yang mengharuskan aku bedrest 10 hari. Untungnya nggak opnam di RS sih. Aku pulang ke kota Ende, ke rumah mama-bapa asuhku dan menginap disana selama seminggu. Aku masih bersyukur. Julia dan Teh Erma sampe bilang: "Kamu tu..sakit kok tetep ceria..tetep bisa ketawa..bercanda..kayak orang sehat aja..."
 Temanku, Mas Parno lebih parah lagi, selama di Ende kena demam berdarah 2 kali plus malaria sekali. Padahal dia dapat penempatan di kota.

Aku mengingat semua dalam pikiran dengan senyuman.
Sambil merapikan barang, aku membungkus semuanya.
Semangat.
Ujian.
Cerita.
Aku tersenyum. Rasanya nggak percaya saat aku mengingat 11 bulan di Flores.
Ternyata, aku bisa melalui semuanya....dengan baik-baik saja...
aku dan murid-muridku

aku dan usnu dapat kenang-kenangan dari sekolah

perpisahan dengan guru di sekolah

nggak aku lewati lagi :)

murid

Kamar kos-ku yang kedua di nangapanda

truk kayu yang dimodifikasi untuk angkut penumpang

alat parutan kelapa khas Flores. Aku udah lancar pake ini lho :-D

11 Juli 2012 | Rubrik: Travel Story - Dibaca: 607 kali

Penulis : ina

 selamat datang
Pada tulisan ini, saya akan menceritakan tentang perjalanan saya mengunjungi salah satu Kampung Adat yang ada di Kabupaten Ende, Flores, NTT.  Kampung Adat (Traditional House) ini terletak di desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende. Pemandangan rumah tradisional dan kehidupan masyarakatnya yang masih alami, menjadi sebuah panorama yang sayang untuk dilewatkan. Ya, Sobat Nida harus kemari! Hehehe...
Perjalanan menuju Kampung adat memakan waktu 2 jam. Jauhnya sekitar 45 kilometer dari Kota Ende. Lebih mudah jika ditempuh dengan kendaraan pribadi (sepeda motor). Namun, lokasi kampung adat bisa juga ditempuh menggunakan kendaraan umum. Kunjungan saya kemari sebenarnya insidental, tidak direncana. Yaitu pada saat liburan April 2012.
Rute perjalanan dimulai dari Kota Ende, berangkat lewat jalan trans Ende-Maumere. Memasuki dusun Ekoleta (kecamatan Detusoko), terlihat hamparan sawah yang memikat mata. Perjalanan masih berlanjut sekitar 20 menit dari dusun Ekoleta.
Akhirnya saya tiba di desa Wologai Tengah. Tidak dikenakan tarif untuk memasuki kampung adat ini, karena kampung adat ini berisi kumpulan rumah-rumah tradisional yang dihuni oleh masyarakat pribumi. Usai memarkirkan motor, saya minta ijin kepada seorang penduduk untuk bisa berjalan-jalan mengelilingi kampung adat dan mengambil foto. Mereka sangat ramah dan mengijinkan. Bahkan menemani saya berjalan keliling.
penduduk wologai
Serasa terbang ke jaman lampau, itulah yang saya rasakan saat menikmati indahnya arsitektur kampung adat ini. Hmmm...saya jadi berandai-andai. Bagaimana rasanya menginap di rumah ini? Pasti mengasyikkan. Kedatangan saya disambut oleh pohon beringin tua yang konon katanya berusia ratusan tahun. Saya melangkahkan kaki dengan rasa takjub yang tidak habis-habis. Barisan rumah tradisional yang merupakan warisan leluhur sungguh memukau mata saya.
rumah adat wologai
Kampung adat tidak luas. Kampung ini memiliki sejumlah bangunan rumah adat yang tradisional,  tertata rapi membentuk lingkaran. Sa’o Ria, demikian mereka menyebut rumah adat ini. Rupanya, kedatangan saya di siang hari kurang tepat. Penduduknya sedang beristirahat di dalam rumah sehingga saya tidak bisa memotret keseharian mereka dan isi di dalam rumah itu.  
Travelling akan semakin terasa mengasyikkan jika kita juga berinteraksi (ngobrol) dengan penduduk sekitar. Pasti ada cerita unik yang akan kita temui. Apalagi orang-orang di sini ramah. Seorang bapak bercerita bahwa ada sebuah bangunan yang digunakan untuk mengubur tulang-belulang leluhur yang mereka hormati. Mereka menjunjung tinggi adat dan warisan leluhur.
rmh adat
Ya. Kampung Adat seakan memancarkan aura magis yang unik. Eksistensi kampung adat ini sangat mempesona. Kabarnya, sekitar tanggal 25 Agustus-15 September masyarakat adat desa Wologai melaksanakan sebuah ritual panen padi yang dianggap sakral. Kampung yang sepi ini akan meriah sekali karena masyarakatnya akan berpesta. Mungkin suatu saat, saya akan kembali mengunjungi Kampung Adat ini untuk lebih memaknai dan melihat tradisi masyarakatnya. Subhanallah... betapa kayanya Indonesia.
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (Al Hujurat : 13)
.
Tulisan saya ini dimuat di Majalah Annida Online :
http://annida-online.com/artikel-5742-eksistensi-kampung-adat-wologai-tengah.html


Mendengar kata "pesta" , apa yang terbayang di benak Anda?
Pesta nikahan atau syukuran di tenda atau gedung, mungkin demikian.
Kalau kata "pesta" di ende, itu berarti semacam acara syukuran, apapun itu. Pokoknya acara rame-rame lah.
Syukuran sambut baru (acara anak kecil untuk agama Katolik), acara nikahan dan sunatan. Semua disebut "pesta".

 Yang bikin khas? Oh, di setiap pesta akan ada  joged tari gawi dan tari jai di penghujung acaranya. Jogednya mirip kayak goyang poco-poco, diiringi musik hip hop atau musik2 DJ khas. Kursi-kursi yang ada disingkirkan, sehingga ada tempat yang lapang. Dan yang joged adalah para tamu undangan (bahkan tuan rumah dan mempelai wanitanya malem itu ikutan beraksi).

Waktu itu, saya dan dua teman kos : Mbak Feri dan Mas Bangkit malem itu menghadiri sebuah pesta pernikahan di kampung kami. Jadi malem itu saya dan mbak feri ...joged. Aw... norak ah malu-maluin. Hehe gak apa-apa lah sekaliii aja joged dalam menghadiri “pesta”.

Menjelang pulang...Beli oleh-oleh! Oleh-oleh khas Ende nggak ada yang murah..jangan samakan dengan oleh-oleh khas Jawa, Bali, Lombok yang bisa didapat dengan harga terjangkau. Ah, tapi bukan harganya yang penting. Yang penting kan penghargaan buat keluarga (terutama keluarga) yang aku beri oleh-oleh.