Kekeluargaan di Ende


*ini tulisan lamaku di laptop*
Di Ende, kata “pesta” berarti acara syukuran, bisa berupa resepsi pernikahan di tenda, Natal Bersama maupun acara sambut baru di tenda (tenda tratag kalau istilah di Jawa). Selalu terdapat acara hiburan dalam setiap pesta. Sebagai contoh, hiburan suara penyanyi nan merdu di acara pesta pernikahan di Jawa. Jika di Ende, hiburannya adalah jogged gawi bersama.
joged gawi bersama
Pesta di sini memang tidak sekedar pesta yang bisa diadakan dengan sederhana seperti di Jawa. Dibutuhkan biaya yang besar untuk mengurus segala persiapannya.
Contohnya dalam acara sambut baru. Keluarga sang anak akan mengadakan acara semacam syukuran dengan memotong kambing, sapi atau babi lalu mendirikan tenda di depan rumah. Lantas bagaimana dengan biayanya? Orang tua sang anak tentu menyediakan uang untuk penyelenggaraannya. Namun, pihak keluarga juga turut membantu dananya. Misalnya ibu guru yang satu tempat kerja dengan saya tadi. Beliau hanya mengeluarkan sedikit uang, karena sebagian besar uang didapat dari hasil iuran anggota keluarganya. Mereka saling bahu-membahu bergantian membantu anggota keluarga yang sedang mengadakan pesta.

Dalam pelepata (pepatah) suku lio-Kabupaten Ende, sikap kekeluargaan ini disebut dengan To’o Lei po’o Mbana Lei Mbeja, Boka Ngere Hi Bere Ngere Ae. Pepatah tersebut mengandung makna bahwa tiap anggota keluarga laksana satu rumpun bambu yang beriring dan berjalan bersama, senasib sepenanggungan dan mengalir laksana air mengalir. Harus ada kekompakan dan kepedulian antar anggota keluarga, serta akrab dan melebur jadi satu.
Pesta lain di Ende yang juga memakan biaya besar adalah dari pihak mempelai pria adalah pesta perkawinan. Salah satu tradisi yang masih membudidaya di Ende adalah tradisi belis atau mas kawin. Seperti halnya daerah lain, perkawinan yang diresmikan dengan pernikahan merupakan cara untuk membentuk sebuah keluarga baru. Tahapan sebelum perkawinan di Ende dimulai dari proses lamaran. Pihak keluarga pria datang ke rumah pihak keluarga wanita untuk bersilaturahmi dan mengutarakan rencana untuk meminang sang wanita. Jika pihak keluarga wanita setuju, biasanya tahap berikutnya adalah membicarakan belis atau wujud hantaran mas kawin yang harus disediakan oleh pihak keluarga pria.

Lantas di manakah letak perbedaannya dengan mas kawin umumnya?

Belis yang diminta di sini dianggap sebagai balas jasa air susu ibu, atau balas jasa atas jasa orang tua sang wanita dalam mengasuh anaknya selama ini. Itulah informasi yang saya dapatkan dari beberapa guru pribumi yang mengajar di sekolah penempatan saya. Wujud belis bermacam-macam dan terkadang sangat sulit untuk dipenuhi. Misalnya, sepuluh ekor kuda, babi dan sapi. Ada juga yang meminta gading dan sepuluh kerbau.
“Makin tinggi kedudukan atau strata wanita, biasanya belisnya makin susah, “ tutur seorang guru pria di sekolah penempatan saya.
Untunglah ada bantuan dari sanak saudara sang mempelai pria yang memperingan biaya persiapan perkawinan.

Bagi sebagian orang tradisi belis yang tinggi masih dijunjung sebagai sebuah tradisi dan kebiasaan jika seorang pria hendak memperistri wanita yang berasal dari Ende (dan NTT pada umumnya). Namun, seiring berjalannya waktu rupaya belis sudah makin disederhanakan. Beberapa warga bercerita, saat mereka menikahi wanita yang kini menjadi istrinya, pihak keluarga wanita lebih lunak dalam menentukan hantaran atau mas kawin yang dibawa keluarga pria.

Tradisi yang ada menjelang pesta atau hajatan adalah minu ae petu atau minum air panas. Bukan dalam arti minum air panas mendidih dalam arti yang sesungguhnya ya, hehehe. Maksudnya, pihak yang mengadakan hajatan (sambut baru, perkawinan, syukuran saat anak lulus SMA dan hendak kuliah, dan lain-lain) akan mengumpulkan sanak saudara serta anggota keluarga di rumahnya. Kemudian, mereka dijamu dengan makanan, kue-kue dan minuman. Sanak saudara dan anggota keluarga akan memberikan amplop berisi bantuan dana dalam jumlah besar untuk keperluan si empunya hajat.

Itulah salah satu budaya di Ende. Sistem kekeluargaan dan kebersamaan keluarga di Ende memang masih tinggi. Terbukti dari kepedulian keluarga untuk turut membantu dana penyelenggaraan acara yang diadakan oleh sanak saudaranya. Dengan prinsip To’o Lei po’o Mbana Lei Mbeja, Boka Ngere Hi Bere Ngere Ae mereka dapat terbantu satu sama lain.

8 komentar

  1. membaca peribahasanya agak susah ya, karena memang logatnya berbeda :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. :D
      iya kalau masih asing di lidah pasti sulit

      Hapus
    2. Hihi,... saya coba membacanya, logatnya susah y mbak Ina.

      Hapus
  2. Seruya bisa belajar budaya lain. Salah datu hiburan kalo pas dapet penempatan jauh dari kampung halaman adalah pelajaran budaya dan adat istiadat setempat memang. :)

    BalasHapus
  3. Memang di daerah-derah tertentu masyarakatnya berbicara dengan nada yang, menurut kita, sangat tinggi. Padahal itu biasa-biasa saja menurut mereka.

    BalasHapus
  4. Memang di daerah-derah tertentu masyarakatnya berbicara dengan nada yang, menurut kita, sangat tinggi. Padahal itu biasa-biasa saja menurut mereka.

    BalasHapus
  5. waaahhh... iya yaaah, kesannya kalau orang luar pulau Jawa itu ngomongnya kayak berantem. Padahal saya sendiri kalau ngomong sm Li jg mirip berantem :D

    Joget Gawi kayak joget-nya orang Medan yang sinanggaltulooo tulooo ... itu loh, gak tahu namanya -.-"
    Kirain minum air panas beneran, ternyataaaa...

    BalasHapus

hay. feel free to say anything, except SPAM :-D . i don't want to miss any comment and i will approve your comment here.

If anyone feel that I have"something wrong" in this article, please let me know immediately and i will repair it.