"Jauhi sungai kecil walau indah dan tenang. Di sana mungkin dekat dengan pujian, banyak ketenangan. Jauhi itu. Pilihlah sungai besar, samudra luas yang arusnya kuat, yang penuh dengan tantangan. Arena yang bisa membuatmu dibentur-benturkan, dihantam tantangan. Arena yang bisa membuatmu makin kuat dan tangguh." [by: Anies Baswedan]
Barusan aku menonton kembali film Laskar Pelangi.  Ah, kini aku bisa mengerti mengapa Bu Guru Muslimah demikian kekeuh bertahan di tempatnya mengajar. Karena beliau mencintai anak-anak didiknya. Kesetiaan beliau pada profesi guru membuat dedikasinya demikian tinggi. Kelak, aku berharap bisa seperti Bu Muslimah. Aku berharap bisa bertahan dalam kondisi sesulit apapun hingga masa tugasku usai.

Kalau ditanya, apa motivasi utamaku ingin mengajar di pelosok negeri?

Sederhana saja. Aku ingin. Ya, aku ingin. Kalau dijabarkan lebih lanjut, aku ingin mengenal pendidikan di pelosok negeri. Aku ingin  banyak belajar mengenai kehidupan di tempat yang tak terduga di pelosok nusantara. Apalagi ilmu-ku gak seberapa, masih seujung kuku. Aku ingin mandiri dan keluar dari zona nyaman. Walaupun nantinya tetap dapat monthly allowance (alias gaji), tetap aja keinginan utamaku adalah mencari pengalaman. Bahkan, aku nggak menaruh harapan bakal diangkat jadi PNS, jujur aku nggak memikirkan itu.  

Keinginan itu timbul sejak aku masih duduk di awal semester 8. Sejak aku mengenal program Indonesia Mengajar. Setahun mengajar, seumur hidup menginspirasi. Slogan singkat itu demikian menarik hatiku. Nah, nggak lama setelah lulus ada program serupa, pendaftaran mengajar setahun di daerah 3T ( Terluar, Tertinggal, Terpencil) dari pemerintah/DIKTI. 
Awalnya orang tua, terutama Ibu , merasa berat mengijinkan saya untuk pergi. Aku paham, setiap orang tua menginginkan anaknya mandiri. Dan untuk membentuk proses kemandirian anak, tentunya dibutuhkan suatu pengorbanan.  

Selama ini aku egois karena hanya memikirkan perasaanku sendiri. Tanpa memikirkan perasaan bagaimana orang tua yang ditiinggal anaknya. Semakin bertambah usia sang anak, akan semakin besar kemungkinan sang anak pergi jauh. Tentunya semua itu membuat orang tuaku khawatir.  Apalagi sang anak akan pergi ke daerah terpencil. Bagaimana nanti ina ibadahnya? Bagaimana makannya? Bagaimana nanti kesehatannya? Bisakah ina betah di sana?
Ketika kuutarakan kekhawatiran ibu pada teman baruku lewat sms, teman baruku bilang: “Menurutku, pertanyaan ibumu itu merupakan suatu tantangan. Kamu harus membuktikan kesungguhanmu pada ortu bahwa kamu benar-benar ingin mengabdi di sana. Nggak ada yang salah dengan pilihanmu, mumpung masih muda dan punya kesempatan untuk cari pengalaman hidup”

Ya. Pengabdian itu sebenarnya bukan masalah jauh-dekatnya jarak. Pengabdian itu berkaitan dengan niat dan ketulusan hati. Aku yakin, perpisahan dengan orang tua untuk setahun ini barulah ujian ketulusan #edisi 1. Selama setahun ke depan, masih ada ujian ketulusan #edisi 2, #edisi 3, dan edisi-edisi berikutnya yang telah menantiku. 

Aku berharap, aku bisa bertahan dan setia pada pilihanku.
Karena kata “istiqomah” itu mudah diucapkan tapi sulit untuk diamalkan.
Pembekalan/pra-kondisi yang sangat melelahkan telah kujalani selama 10 hari. Akhirnya kegiatan karantina itupun berakhir. Kelelahanku terbayar dengan hadirnya kawan-kawan baru dan pengalaman yang berharga. 

Terima kasih, Ibu, Bapak...
Terima kasih atas pengorbanan yang besar.
Terima kasih atas kepercayaan dan kesempatan yang diberikan sehingga aku bisa mengenal banyak orang baru.
Semua itu takkan mungkin terjadi tanpa ridho dan doamu.
Mungkin hanya ini, mengajar di pelosok negeri, yang bisa kupersembahkan pada kalian, sebagai amal jariyah bagimu kelak untuk ke surga. 

Sejauh apapun aku pergi, aku akan selalu mengingat bahwa kasih sayangmu adalah rumahku.
Kasih sayang kalian seperti langit. Luas tak terhingga. Tinggal menghitung hari, aku akan berada di pelosok jauh dari kalian. Namun, angin akan menjadi perantara kerinduanku. Dan di puncak kerinduan itulah, kita akan saling mendoakan. 

Setahun kemudian nanti, Jogja telah berubah. Ah, atau aku yang telah berubah? Kerutan di dahi orang tuaku juga akan bertambah. Demikian pula dengan rambut putihnya. Namun, kasih sayangnya? Ah, aku tak sanggup menghitungnya!

Seperti judul lagu, aku pergi hanya untuk sementara dan aku pasti akan kembali :-)

Cilacap, 10 Desember 2011

Selama 10 hari kemarin aku 'dikarantina' dan baru diperbolehkan memegang hape pada hari kesembilan.
Singkatnya, ini adalah latihan dasar kedisiplinan, berupa pembekalan pra-kondisi bagi 212 peserta program SM 3T/Maju Bersama. Bertempat di AAU Jogja.

Masih kuingat, pagi 26 November aku berangkat untuk kumpul di rektorat dengan membawa sebuah tas punggung besar, tas ransel sedang dan ember 10 liter beserta gayungnya (disuruh begini coy, bawa ember plus gayung).
Aku diantar oleh bapak, budeku, dan sahabatku. Ya ampun banyak yang ngawal ya? ckckckc...
Kemudian dari rektorat, 212 peserta berangkat naik bis AAU ke AAU.
Pertama kali menginjakkan kaki di AAU, rasanya panas luar biasa.
Kami membawa barang2 bawaan yang berat jauh ke asrama.
Hei ini belum apa2, aku mengingatkan diri sendiri."

Dari 200 manusia itu hanya seorang saja yang kukenal. Hehehe maklumlah aku sendirian dari prodiku.

Baiklah. Ternyata nggak seburuk bayanganku. Kukira, kami akan kesulitan cari kamar mandi dan tidur di barak. Rupanya tidak. Sekamar 3-4 orang dengan kamar mandi dalam. Hmmm...menyenangkan juga.
Dan ember yang kukira untuk ngantri ambil air, ternyata bermanfaat untuk cuci baju. Iyalah, wong airnya deras kok di bak mandi hahaha...

Selama 10 hari, aku dapat materi-materi kelas yang berupa kebudayaan, kewirausahaan, dll yang berkaitan untuk nantinya. Selain itu, dapat materi bela negara, motivasi dan kepemimpinan. Ada juga pembinaan berupa latihan fisik (baru hari pertama udah jalan 5-15 kilometer coy. Ampe kaki sakiiit dan malemnya nggak bisa tidur. Muahahaha). Nggak lupa latihan mental yang tujuannya bagus, untuk memupuk rasa percaya diri kami.

Semuanya serba on time, disiplin dan teratur. Hmm...aku enjoy dan senang dapat menimba ilmu di sini selama 10 hari. Bangun pagi-pagi jam 04.30 untuk senam. Tiap kamar kan piket sejam tuh kalo malem. Piket jaga asrama. Tentunya kamar cowok ama cewek dipisah dan letaknya berjauhan. Kalo makan harus baris dulu, masuk per pleton ke ruang makan (putra-putri terpisah). Trus salah seorang dari kami memimpin makan. Makanpun dibatasi 10 menit. Satu meja terdiri dari 5-8 orang gitu...trus apa yang ada di atas meja harus dibagi rata...intinya harus habis deh. Jangan kuatir, makannya teratur 3 kali sehari....bergizi lagi. Hehehe...

Ada juga baris-berbaris dan latihan upacara. Ini nih yang bikin pegel. Ada juga pemberian materi oleh dosen-dosen di ruang kuliah AAU. Biasanya kalo pembawa materinya bikin ngantuk, akupun tertidur sesaat di bangku ruang kelas ber-AC itu. Pssst! Tapi, kalo yang bawain materi itu asik dan bersemangat, akupun ikut ketularan semangat. Malemnya juga ada materi di ruang aula.

 Nah, kegiatan lapangan juga ada. Outbond, rafting (terjun dari ketinggian 15 meter) dan survival di hutan. Ada penyeberangan dengan tali, manjat pake tali, dan nyebrang danau pakai tali. Yang terakhir itu aku payah banget....berkali-kali tenggelam di danau karena nggak bisa renang....

Oya kalo baris kadang dipisah antara putra putri, tapi kadang digabung. Kalau pas dipisah, biasanya aku baris urutan kedua. Kan satu baris tiga orang tuh. Biasanya di depanku itu Mbak Virli, Mbak Ayu dan Mbak Yonis. Barisnya sesuaai dengan tinggi badan. Tapi kadang aku sebaris dengan Mbak Yonis dan Mbak Trisni Rahayu (Mbak Ayu). Aku senang berteman dengan mereka. Usia mereka terpaut 1-2 tahun di atasku, tetapi Mbak Ayu dan Mbak Yonis ini ceria dan terlihat bersemangat. Kami akrab meskipun baru saling kenal di pelatihan. Akrabnya karena barisnya sering bareng...hehehe...walaupun nggak sekamar.

Beragam motivasi kuperoleh selama pelatihan.
Namun, di awal pelatihan, aku masih sedikit galau: "Mampukah aku?" "Bisakah aku?" "Sanggupkah aku bertahan untuk ke pelosok?"

Dari sekian banyak peserta, setiap orang memiliki alasan yang berbeda mengapa ikut program ini. Mayoritas karena ingin dapat program profesi guru dan kejelasan masa depan.
Ah, sedangkan alasanku sederhana dan konyol. Aku nggak berharap muluk2 dengan program profesi guru dan tiket menuju kursi PNS (baca : peluang PNS sesudah setahun mengabdi). Alasanku sederhana. Aku ingin menambah pengalaman.

Hmmm rasanya aku senang bisa belajar banyak dari pelatihan di AAU. Aku merasa ilmu yang kumiliki cuma seujung kuku saja. Hehehe.
Pelatih-pelatih tentara itu garang, disiplin dan keras. Tapi sebenernya mereka baik. Waktu mau perpisahan, kami berjabat tangan dengan petinggi AAU dan seluruh pelatih...akupun terharu.

Kelelahan itu terbayar dengan hadirnya kawan-kawan baru dan segudang pengalaman berharga.Aku nggak lagi ragu. Kini yang ada harus maju, berjuang, bertahan dan menang!
Yes, I can!