Menjadi Ibu, Sekolah Tanpa Akhir



bahagia bersamamu
 Hello world, I am come back!

Akhir Mei 2020 ini, udah dua setengah bulan aku berada di rumah sejak aturan pemerintah yang memberlakukan Work From Home (WFH) bagi banyak instansi. Wacananya, WFH ini sebentar lagi akan dihentikan. Para pegawai yang tadinya WFH harus bersiap balik ngantor lagi. Diharapkan, semua lini mau mematuhi protokol Kesehatan dan tetap jaga jarak saat Kembali ngantor. Semoga aja nggak langsung full time kerja dan masuk sekolahnya nih. Sebab, sebaiknya dilakukan secara bertahap dan selang-seling jam belajarnya demi menjaga imunitas guru dan murid.


Gimana rasanya berada di rumah aja dan jarang bepergian?
membahagiakan dia cukup dengan hal sederhnana. main air

Berhubung aku tipe orang yang senang berada di rumah –jadi ngga merasa “berat” saat harus berada di rumah. Apalagi di rumah nyaman kok karena hanya bersama anak dan suami. Lagipula kondisi ini sifatnya hanya sementara, bukan permanen. Memang ada rasa sedih karena pandemi ini menghalangi pertemuanku dengan orang tua yang berada di Cilacap.  Nah, untuk memupus kesedihan dan mengisi waktu, aku juga melakukan hal-hal yang produktif di rumah. Selain urusan domestik rumah tangga, juga memanfaatkan waktu untuk mengembangkan diri terkait profesiku sebagai guru. Untuk kegiatan pengambangan diri, bisa dilakukan sembari momong anak (audionya dikencengin jadi kedengeran), atau saat anak tidur.

Ada banyak diklat online berkaitan dengan kependidikan yang aku ikuti. Informasinya dari media sosial, rekan guru dan ibu kurikulum sekolahku (Bu Eulis). Aku juga salut sama Bu Putri, beliau ketua MGBK Kabupaten Bogor yang saat ini mengikuti penugasan suaminya di Batam. Sebagai ibu 3 anak (1 anak ditinggal di Bogor sementara tinggal bareng ibunya Bu Putri), beliau lihai membagi waktu. Wanita kelahiran 1982 ini punya pemikiran jauh lebih dewasa dari usianya, orangnya santun dan bersahaja. Sebagai lulusan S1 Psikologi Unpad, beliau rendah hati. Prestasinya pernah ada di urutan 4 gupres SMP  tingkat kabupaten Bogor Tahun 2017 (walau kata beliau itu bukan termasuk juara, karena dinas kami hanya mengambil peringkat 1, 2 dan 3). Dalam masa WFH nya, beliau juga aktif nulis blog di Gurusiana dan mengikuti diklat online.
menyimak diklat pendidikan + parenting via live youtube. Atas saran suami, volume kencang agar terdengar sambil momong anak

Aku juga bergabung dengan wadah komunitas online Institut Ibu Profesional Area Tangsel. Belajar Bersama, menggali inspirasi dari ibu-ibu lain.

Menulis sebuah artikel untuk jurnal Pendidikan juga kulakukan mumpung ada waktu di rumah. Suami bantu mengedit tata letak dan memberikan saran jika ada kalimat yang kurang tepat untuk dibaca. Semua aku niatkan sebagai bekal agar aku mampu menjadi madrasah yang baik bagi buah hatiku.
aku maunya mamam sendiri, undaaaa

Menjadi Ibu, bagiku adalah sekolah tanpa akhir. Sekarang usia anakku Sarah 20 bulan. Sejak usia 1 tahun, dia masuk dalam fase yang dikenal dengan sebuatn ‘Terrible Two’. Di umur ini juga, anak mulai berani sehingga ketika melakukan sesuatu ngga mau dibantu. Mulai bisa protes, mulai bisa membangkang, yang akhirnya membuat orangtua bingung, “KENAPA YA NI ANAK?”

Pada Sebagian anak, fase ini terjadinya sebelum anak usia 2 tahun.

Sarah nih misalnya, suka ngedorong sepedanya sambil berlarian kencang. Ketika aku berusaha mengontrol laju sepedanya, dia ngambek. Saat sepedanya nabrak penghalang, dia marah karena sepedanya ngga bisa jalan. Hehehe.

Pada fase ini, Sebagian anak juga tantrum seperti halnya Sarah yang kuperhatikan dia condong kinestetiknya. Saat anak merasa belum berhasil melakukan sesuatu yang dia lakukan, dia belum mengerti dan cenderung marah.

Tantrum adalah cara anak untuk mengekspresikan frustrasi atau marahnya. Apa yang biasanya dilakukan? Merengek sambil menangis, marah, menghentak-hentakan kaki, guling-gulingan di lantai, memukul, menendang, berteriak-teriak, mengencangkan tubuhnya sambil menangis keras. Lho, kenapa bisa begitu? Karena anak belum bisa membahasakan apa yang dia rasakan, ada hal fisiologis yang dia rasakan (mengantuk, lapar, atau sakit badannya), ingin mendapat perhatian (supaya dibelikan mainan atau supaya dituruti keinginannya), Disinilah aksi dari orangtua diperlukan untuk meminimalisir terjadinya hal ini.
nenangin anak yang asing pas diajak ke tempat baru

Kami selalu berusaha memposisikan diri kita menjadi diri anak tersebut (bagaimana kira-kira pola pikir anak seusia ini, bagaimana kira-kira cara bersikap anak seusia dia), agar kita bisa lebih memahami apa yang sebetulnya terjadi dengan diri anak . Someday I will miss this journey.

Allah selalu selipkan hal baik di antara hal-hal yang kita anggap nggak baik. Di masa pandemi yang mengharuskan aku di rumah, saya bisa menggunakan waktu untuk melihat perkembangan anak, mengembangkan diri sesuai kebutuhan profesi, bahkan lebih meluangkan waktu untuk ibadah dan mengerjakan berbagai pekerjaan rumah.


1 komentar

hay. feel free to say anything, except SPAM :-D . i don't want to miss any comment and i will approve your comment here.

If anyone feel that I have"something wrong" in this article, please let me know immediately and i will repair it.