Mengenal Budaya Ende sebagai Bagian dari Kekayaan Budaya Indonesia



Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam dan kebudayaan yang melekat di setiap daerahnya. Setiap daerah memiliki kearifan budaya yang menjadikannya unik. Salah satunya adalah budaya masyarakat Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Saya sangat beruntung pernah diberikan kesempatan tinggal di sini selama setahun untuk mencicipi nuansa Ende, menikmati budayanya dan melihat kearifan lokal masyarakatnya dari jarak dekat.
Jika dilihat di peta, daerah ini berada di bagian selatan Pulau Flores. Ende memiliki fasilitas umum berupa bandara dan pelabuhan. Jadi, akses menuju kemari masih bisa terjangkau dengan cukup mudah dari luar daerah. Kota Kabupaten Ende adalah Kota Ende. Pesisir selatan Ende yang meliputi Kota Ende, Nangaba, Nangapanda hingga Nangamboa terletak di pesisir pantai dan berbatasan dengan Laut Sawu. Di daerah pesisir pantai, banyak penduduk memiliki mata pencaharian sebagai nelayan.



Pemandangan di pesisir Kabupaten Ende

Penduduk asli di Kabupaten Ende terdiri dari dua suku, yaitu suku Ende dan suku Lio yang hidup dengan rukun. Suku Ende umumnya berdomisili di kawasan pesisir selatan atau daerah pantai di Kabupaten Ende. Sedangkan, suku Lio bermukim di daerah pegunungan. Kawasan Ende yang umumnya tandus membuat tanaman tertentu tidak dapat tumbuh, seperti durian, rambutan, teh, anggur, strawberry.  Tumbuhan yang banyak tumbuh adalah ketela, mangga, pisang, papaya, jagung. Keunikan budaya Ende juga terpancar dari bahasanya. Setelah saya amat-amati, hampir keseluruhan kosakata daerah Ende berakhiran hurup vocal (a, i, u, e, o). Contohnya:


“Mai si ka!” 1
“Ma’e gera” 2
Saya mendapatkan penempatan mengajar di sebuah sekolah di Nangapanda. Jarak tempuhnya sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Ende. Karena akses masih terbilang lancar, saya biasa naik angkot atau oto bemo istilahnya di Ende. Bentuknya sama dengan bemo yang ada di Jawa. Hanya saja, bemo di sini full musik rap atau reggae dan full dengan hiasan boneka di bagian dashboardnya. Musik disetel dengan volume kencang sebagai hiburan bagi penumpang. Suaranya memekakkan telinga, tetapi orang-orang di sini sudah terbiasa. Untunglah lama-kelamaan kuping saya ikut terbiasa juga mendengar suara sekencang itu.
 Pada minggu-minggu awal saya berdomisili di Ende, saya cukup kaget melihat cara berbicara mereka yang cenderung blak-blakan dengan nada keras. Pada suatu siang hari usai rapat guru di sekolah, saya mendengar beberapa guru wanita berdebat tentang perangkat pembelajaran di luar ruangan. Spontan saya pun menyapa mereka.
“Wah wah wah...asyik sekali nih ramenya. Sudah, lanjut besok saja Bu. Jangan bertengkar di sini, “ saya tertawa lepas. Saya mencoba mencairkan suasana. Jujur, dalam hati saya takut mereka adu mulut sampai berkelahi di sini.
Mendengar saya berkata demikian, ketiga ibu guru tersebut saling melempar pandangan dengan sorot mata bertanya-tanya. Beberapa detik kemudian mereka ikut tertawa lepas.
“Aduuuhh, ma’e gera Bu Ina. Jangan kaget ko, kami punya suara memang keras macam halilintar. Su biasa, kami tida berkelahi....” tutur Bu Ros.
Menyadari kesalahpahaman saya, saya kembali tertawa. Begitulah budaya. Lain ladang lain ilalang. Walaupun dari luar mereka tampak keras, tetapi hati mereka lunak dan baik.
***
Kearifan Lokal dalam Memenuhi Kebutuhan Pangan

Tentang mengenai kehidupan masyarakatnya, saya bisa menilai bahwa toleransi keberagaman antar agama di Kabupaten Ende terbilang tinggi. Wilayah ini memiliki komposisi penduduk beragama muslim sekitar 30% dan Katholik 70%. Penduduk muslim umumnya mendiami daerah pesisir pantai. Sehingga, di daerah yang dekat dengan pesisir pantai masih terdapat beberapa mushalla. Sedangkan penduduk Katholik menyebar di daerah pesisir dan pegunungan.
Pada tahun 2012, saya mengikuti program mengajar setahun di daerah tertinggal dan mendapat penempatan di Desa Ondorea, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Warga di desa ini memanfaatkan sumur untuk ketersediaan air. Sebab, aliran air dari PAM belum terjangkau. Desa ini berada di pesisir pantai. Saya bisa menyaksikan beberapa warga mengambil ikan untuk dimakan atau dijual di pasar dengan cara menangkap ikan yang masih terbilang tradisional. Misalnya menggunakan jaring.
Selama satu tahun berdomisili, saya tidak memakan ikan air tawar karena tidak dijual di sini. Bahkan udang, cumi-cumi dan kepiting sangat sulit ditemukan karena harus didatangkan dahulu dari Kupang. Saya jadi biasa makan ikan laut seperti ikan tembang, ikan gembung, ikan ewe dan ikan parang yang banyak dijual di pasar.
Di daerah lainnya yang tidak di dekat pantai, banyak penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai petani dan berkebun.  Masyarakat etnis Ende-Lio memiliki ritual untuk memanjatkan doa kepada Ine Pari 3 sebelum mulai menanam benih dan saat masa panen berlangsung. Masyarakat Ende Lio memiliki kearifan lokal saat berladang demi tercapainya kecukupan pangan4. Misalnya dengan tidak mengandalkan satu jenis bahan pangan saja, menjaga kesuburan tanah tempat berladang, melakukan pola menanam tumpang gilir dan tumpangsari, serta memberi pupuk  yang dibuat sendiri.
***
Budaya Belis dalam Adat Pernikahan

Salah satu tradisi yang masih membudidaya di Ende adalah tradisi belis atau mas kawin. Seperti halnya daerah lain, perkawinan yang diresmikan dengan pernikahan merupakan cara untuk membentuk sebuah keluarga baru. Tahapan sebelum perkawinan di Ende dimulai dari proses lamaran. Pihak keluarga pria datang ke rumah pihak keluarga wanita untuk bersilaturahmi dan mengutarakan rencana untuk meminang sang wanita. Jika pihak keluarga wanita setuju, biasanya tahap berikutnya adalah membicarakan belis atau wujud hantaran mas kawin yang harus disediakan oleh pihak keluarga pria.
Lantas di manakah letak perbedaannya dengan mas kawin umumnya?
Belis yang diminta di sini dianggap sebagai balas jasa air susu ibu, atau balas jasa atas jasa orang tua sang wanita dalam mengasuh anaknya selama ini. Itulah informasi yang saya dapatkan dari beberapa guru pribumi yang mengajar di sekolah penempatan saya. Wujud belis bermacam-macam dan terkadang sangat sulit untuk dipenuhi. Misalnya, sepuluh ekor kuda, babi dan sapi. Ada juga yang meminta gading dan sepuluh kerbau.
“Makin tinggi kedudukan atau strata wanita, biasanya belisnya makin susah, “ tutur seorang guru pria di sekolah penempatan saya. “Wajar lah Bu kalau para lelaki di sini banyak yang menikah di atas 27 tahun. Karena kami sibuk kumpul belis (mengumpulkan belis).”
“Bahkan ada beberapa lelaki yang masih berhutang membayar belis walaupun sudah menikah. Itu kadang buat mereka jadi tertekan,” tambahnya lagi.
Bagi sebagian orang tradisi belis yang tinggi masih dijunjung sebagai sebuah tradisi dan kebiasaan jika seorang pria hendak memperistri wanita yang berasal dari Ende (dan NTT pada umumnya). Namun, seiring berjalannya waktu rupaya belis sudah makin disederhanakan. Beberapa warga bercerita, saat mereka menikahi wanita yang kini menjadi istrinya, pihak keluarga wanita lebih lunak dalam menentukan hantaran atau mas kawin yang dibawa keluarga pria.
Setelah penentuan belis selesai, pihak keluarga pria mengadakan acara yang disebut dengan istilah minu ae petu atau minum air panas. Pihak pria mengumpulkan sanak saudara dan keluarganya untuk disuguhi minuman dan kue-kue tradisional serta makanan dan para saudara membawa amplop berisi bantuan uang untuk keperluan pernikahan sang lelaki.
Tahap berikutnya yaitu mendi belanja alias mengantar belis atau sebagian belis yang disepakati. Setelah itu, kedua pihak keluarga akan menentukan tanggal pernikahan. Bukan hal yang mengherankan lagi bagi saya kalau di jalan saya ‘berjumpa’ dengan binatang ternak yang diangkut dengan bis kayu atau oto kayu. Bis kayu? Ya. Ini adalah truk yang dimodifikasi, diberi atap di atasnya dan diberi deretan bangku dari kayu di dalamnya yang berfungsi sebagai salah satu moda transportasi di Ende. Bis kayu sering disewa untuk mengangkut belis.


Hajatan nikah dilakukan di rumah mempelai wanita. Satu hari sebelum acara pernikahan, kamar pengantin di rumah wanita akan dihias. Malamnya, diadakan acara senandung puji-pujian. Esoknya, diadakan acara resepsi. Para ine 5 datang dengan baju khas Ende, yaitu lambu dan lawo (sarung khas Ende). Setelah itu, pihak keluarga wanita dan laki-laki akan menyelesaikan tahap Kumba Ae-Nio atau hantaran untuk pihak wanita yang terdiri dari perlengkapan wanita seperti baju, kain, emas dan sarung Ende.
Itulah budaya dalam adat pernikahan di Ende. Sistem kekeluargaan dan kebersamaan keluarga di Ende memang masih tinggi. Terbukti dari kepedulian keluarga untuk turut membantu dana penyelenggaraan acara yang diadakan oleh sanak saudaranya.
***
Ada Emas di Ujung Kayu

Bercerita tentang budaya di bidang pendidikan, salah satu filosofi pendidikan yang sudah mengakar di Ende adalah “ada emas di ujung kayu” atau mendidik dengan cara keras. Cara ini dianggap sebagai tindakan tegas untuk membina murid yang melanggar aturan di sekolah. Butuh penyesuaian awalnya bagi saya saat melihat beberapa guru-guru di sekolah penempatan menerapkan hukuman fisik kepada murid. Cara tersebut dianggap tepat untuk mendidik murid.
“Kalau murid di sini hanya diberi omelan seperti murid di Jawa, tida jadi e Bu,” 6 ungkap salah seorang guru pada saya. “Murid di sini kebal kalau hanya dengan gertak sambal.”
Meskipun saya sendiri tidak bisa menerapkan hukuman fisik dan lebih menerapkan cara lain yang menurut saya lebih mendidik, tetap saja hukuman fisik tidak bisa terhenti. Setiap daerah memiliki budaya sendiri dalam mendidik dan semua itu sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Segi positifnya, murid-murid Ende terbiasa bekerja. Misalnya, gotong royong mengangkut bata untuk pembuatan bangunan kelas baru di sekolah. Atau bekerja sama menanam kacang ijo dan ketela pohon di kebun sekolah. Kondisi alam yang sedemikian rupa telah membentuk jiwa mereka sebagai jiwa pekerja.
Banyak daerah di Ende yang belum mendapatkan pasokan air PAM dan listrik. Mereka mengandalkan genset desa dan air sumur. Bukan hal yang baru lagi jika saya melihat murid yang harus menimba air sumur. Timba dibuat dengan ember yang ditarik dengan tali biasa, bukan katrol. Beberapa murid terlihat mengangkat kayu untuk dijadikan bahan bakar di sore hari, sebagain lainnya pergi ke pantai untuk membantu ayahnya ,mencari ikan, atau berladang untuk memanen jagung.

Murid-murid saya yang bersekolah di Sekolah Menengah Atas ini tidak biasa mendapat hiburan berupa mall, waterboom, wahana wisata seperti layaknya anak-anak yang hidup di kota. Namun, mereka tetap dapat  menikmati kondisi yang menurut orang lain sangat terbatas. Terlihat dari binar matanya saat berhasil menangkap ikan dengan jaring, mendapat hasil panen ladang yang banyak, jualan nasi bungkus laku keras. Atau gelak tawa mereka saat berjoged gawi di berbagai acara. Bahkan mereka bisa bersorak riang saat melihat bis kayu melewati jalanan di depan sekolah. Mereka juga bisa menerima kondisi dan fasilitas di sekolah yang masih sangat terbatas. Mereka berbahagia dalam kondisi yang ada.




Meskipun masuk dalam kategori daerah tertinggal, tetapi cukup banyak siswa tamatan SMA/MA di Ende yang melanjutkan ke jenjang kuliah. Apalagi di Kota Ende tedapat sebuah universitas swasta yang memiliki beberapa jurusan. Ada juga sekolah tinggi kesehatan swasta di kota ini. Beberapa siswa yang orang tuanya tergolong mampu memilih kuliah di luar Flores, seperti di Jawa, Kupang dan Makassar.
***
Kain Tenun Khas Ende

Banyak ine di Ende yang memiliki kegemaran menenun kain. Pembuatan kain memakan waktu selama dua minggu, bahkan ada yang hingga 1-2 bulan. Tergantung jenis benang dan motif yang hendak dibuat.
Namun, tidak semua wanita Ende bisa menenun kain. Beberapa wanita Ende yang memiliki kemampuan menenun kain menjadikannya pekerjaan sampingan. Contohnya adalah seorang ine (ine dalam bahasa Ende artinya ibu) berusia sekitar 40 tahun yang saya jumpai di Pulau Ende. Pulau Ende? Ya. Pulau Ende adalah sebuah pulau kecil yang masih masuk dalam lingkup Kabupaten Ende. Di sini, listrik hanya tersedia pada malam hari saja. Untuk keperluan air, masyarakat mengandalkan sumur. Terasa asin dan lengket karena jaraknya yang dekat dengan bibir laut.
Sang ine menenun dengan santai sambil mengenakan bedak putih nan tebal di wajahnya.
“Ini bedak dingin mbak. Saya pakai supaya tahan panas,” katanya ramah. Saat itu, cuaca sangat terik tengah memayungi Pulau Ende.
“Biasanya kain ini selesai dalam 2 minggu. Saya kerjakan jika ada pesanan saja. Harga jualnya 300-400 ribu per-lembar,” sang ine tersenyum ramah.

Satu lembar kain bisa dijadikan sebuah baju ukuran orang dewasa. Baju tersebut bisa dipakai untuk ke kantor. Bagi orang Ende, memakainya adalah suatu kebanggaan. Selain dibuat menjadi baju, rajutan kain juga bisa dibuat sarung khas Ende yang biasa dipakai untuk menghadiri acara-acara khusus. 
 
***
Ritual Tradisional sebagai Ungkapan Syukur

Beberapa kalangan masyarakat di Kabupaten Ende masih memegang teguh pelaksanaan upacara tradisional sebagai bagian dari melestarikan budaya serta tradisi leluhur. Misalnya masyarakat yang tinggal di Kampung Adat Wologai Tengah, Desa Wologai Tengah, Kabupaten Ende. Kampung adat wologai tengah berisi kumpulan rumah tradisional (Sa’o Ria) yang dihuni oleh masyarakat pribumi. Atapnya terbuat dari alang-alang. Sedangkan dindingnya dari kayu dan batok kelapa. Pada bulan April 2012, saya berkunjung kemari.


Saya menyempatkan diri ngobrol dengan penduduk setempat saat berkunjung ke kampung adat ini. Mereka sangat ramah. Seorang kakek bercerita bahwa sebuah bangunan yang terletak di depan rumah digunakan untuk mengubur tulang belulang para leluhur. Di samping itu, pada saat musim panen padi masyarakat akan mengadakan ritual khusus yang sakral. Ritual tersebut dianggap sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta.  Sebagian rumah di kampung adat ini pernah terbakar pada bulan Oktober 2012. Sebulan kemudian, warga desa dan mosalaki8 berjibaku membangunnya kembali demi lancarnya penyelenggaraan seremoni adat9.
Kebiasaan menjunjung tradisi leluhur juga masih dilakukan oleh warga yang bermukim di sekitar danau tiga warna atau Danau Kelimutu . Danau tiga warna ini terbentuk sebagai hasil dari aktivitas vulkanik Gunung Kelimutu. Warna ketiga danau kawah bisa berubah-ubah. Saat saya berkunjung ke sana tahun 2012 lalu, warnanya biru muda, hijau tua dan hitam.
Berdasarkan penelitian ilmuwan, perubahan warna danau tergantung dari kondisi alam. Warga sekitar meyakini bahwa tempat wisata nan indah ini menyimpan unsur mistis.  Danau kawah tersebut dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah orang tua, arwah muda-mudi dan arwah orang jahat. Sehingga, pada waktu tertentu, warga menyelenggarakan ritual khusus untuk meminta ketenangan dan kemakmuran hidup.
***
Sisi Religius dalam Joged Tari Gawi

Selalu terdapat acara hiburan dalam setiap pesta. Sebagai contoh, hiburan suara penyanyi nan merdu di acara pesta pernikahan di Jawa. Jika di Ende, hiburannya adalah jogged bersama. Di Ende, kata “pesta” berarti acara syukuran, bisa berupa resepsi pernikahan di tenda, Natal Bersama maupun acara sambut baru di tenda.

Sambut baru merupakan istilah yang digunakan orang Ende (dan NTT umumnya) yang beragama Kristen atau Katholik untuk komuni pertama. Kalau di Ende, anak-anak dari orang tua yang beragama Katholik tidak cukup menerima baptis secara Katholik saja. Melainkan ada acara sambut baru. Keluarga sang anak akan mengadakan acara semacam syukuran dengan memotong kambing, sapi atau babi lalu mendirikan tenda di depan rumah. Lantas bagaimana dengan biayanya? Orang tua sang anak tentu menyediakan uang untuk penyelenggaraannya. Namun, pihak keluarga juga turut membantu dananya.
Saat musim sambut baru tiba, Mama dan Bapak angkat saya di kota Ende yang beragama Islam menerima 10 undangan sekaligus pada hari yang sama. Saya yang sedang turun ke kota  diminta menemani mamak dan adik-adik untuk pergi ke acara sambut baru. Hmmm, acaranya meriah juga.
Orang Katholik memiliki toleransi yang tinggi. Mereka ‘menyembunyikan’ masakan daging babi di ruangan dalam untuk menghormati Muslim. Mereka menyajikan masakan daging kambing dan sapi bagi kami. Di sela-sela acara, ada hiburan Joged Tari Gawi. Kursi bagian depan disingkirkan agar lapang. Kemudian beberapa tamu undangan berjoget bersama mengikuti alunan musik khas. Jogednya mirip poco-poco.
Joged Tari Gawi juga kerap dilakukan di berbagai acara yang saya datangi. Misalnya di penghujung acara resepsi pernikahan, bahkan kedua mempelai didaulat ikut turun untuk berjoged bersama. Ada juga acara Natal Bersama yang diadakan di sekolah penempatan saya.  Tari gawi memang sangat dinanti di setiap acara. Hiburan ini tak ada matinya. Tak mau ketinggalan, saya dan Mbak Feri (rekan dari Jawa yang satu desa penempatan) turut berjoget ria saat kami menghadiri suatu acara. Begitu juga saat saya, Mbak Erma, Julia, Dian (rekan guru satu program dari Jawa) menghadiri acara tahun baru di tetangga rupah Mamak angkat, kami tidak melewatkan kesempatan untuk berjoged. Hehehe. Mumpung. Kalau di Jawa, tidak ada yang seperti ini bukan?


Lantas bagaimana asal-usul Tari Gawi? Rupanya tari, atau joged Gawi sarat makna. Saat jogged Gawi, orang-orang wajib bergandengan tangan, menghentakkan kaki dan mengikuti alunan musik. “Ga” berarti segan dan “Wi” bnerarti menyatukan diri. Tarian atau jogged gawi dianggap sebagai pemersatu berbagai kalangan di Ende. Tarian ini memiliki filosofi yang mendalam, yaitu ungkapan rasa syukur pada Tuhan 7 .
***

Selama berdomisili setahun di Ende, saya menemukan indahnya khazanah budaya bangsa yang ada di sini.Cukup banyak pendatang yang bermukim di Ende. Belajar dari kerukunan antar suku, ras dan agama di Ende, saya makin meyakini bahwa tidak seharusnya perbedaan budaya dijadikan penghalang terciptanya persatuan di Indonesia. Terciptanya kerukunan bukan hal yang mustahil jika setiap lini masyarakat di Indonesia mau menerima, menghargai dan menghormati perbedaan budaya satu sama lain.

Ende memiliki banyak kearifan budaya lokal sebagai potensi daerah.  Meskipun terkesan sederhana, tetapi budaya dan kebiasaan hidup menjadikan Ende semakin istimewa. Kearifan budaya lokal bisa menjadi aset pariwisata di Indonesia. Dan Ende hadir untuk memperkaya keindahan negeri tercinta ini.


Keterangan

1.      “Mari kita makan!”
2.      Artinya adalah “jangan marah”, uniknya kalimat ini digunakan untuk menyampaikan permohonan maaf).
3.       Ibu Padi
4.      Berdasarkan hasil penelitian Maria Magdalena Sinta Wardani, dkk dari Universitas Flores
5.      Ibu atau Mama
6.      “Tidak berhasil, Bu”
7.      sumber : http://wisata.nttprov.go.id/index.php/2014-01-20-04-39-05/tarian-daerah/27-tari-gawi-dari-ende
8.      Pemimpin adat
9.      sumber :  http://portal.endekab.go.id/component/content/article/40-berita/585-rumah-adat-yang-terbakar-mulai-dibangun.html



TENTANG PENULIS


Nur Fajrina, yang akrab disapa Ina telah menamatkan kuliahnya di jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan UNY pada tahun 2011. Penulis pernah mengikuti program setahun mengajar di daerah tertinggal dan mendapat penempatan di Ende, Flores, NTT tahun 2011-2012. Selain menyukai bidang tulis menulis, ia juga hobi travelling dan kuliner. 

Tidak ada komentar

hay. feel free to say anything, except SPAM :-D . i don't want to miss any comment and i will approve your comment here.

If anyone feel that I have"something wrong" in this article, please let me know immediately and i will repair it.